Kamis, 09 Desember 2010

Ilmuwan Temukan Cara Bangkitkan Kembali Mammoth
Ngintip ke dunia IPTEK yukk…
Siapa sieh yg ga kenal tokoh “mammoth” di pilm ICE AGE yg frustasi gara2 dya takut punah?
Tapi klo ajja si “mammoth” itu bisa baca mading qta sekarang,,dia pasti ga bakalan takut dan resah….
Karena apa??
Karena eh karena,,para ilmuwan yang ada di London telah membuat kemajuan luar biasa yang mampu membawa qta lebih dekat untuk membangkitkan spesies langka yang telah punah.
vvv
Mw tau cara’a???
Yuk mari qta kupas secara tajam,,setajam Shiledhh
Mamooth dikenal sebagai hewan raksasa yang mampu mencapai ukuran sekira 13 kaki, dan memiliki rambut di sekujur tubuh yang bisa mencapai 3 kaki, gtw berapa botol shampoo yg abiz buwad ngeramasin tu hewan…Kepunahan hewan tersebut disebabkan karena perubahan cuaca.
Nah,,dari rambut yg boros shampoo itu,,ternyata bisa juga digunain sbg sumber DNA yang akan dijadikan untuk membuat kloning hewan besar purba itu. Para ilmuwan mengklaim telah berhasil memetakan sebagian kode genetika Mamooth yang selama ini dikenal dengan gajah raksasa yang memiliki tubuh dengan rambut lebat.
Terus gimana ama DNA yg kata’a pak adi merupakan cetak biru kehidupan (qta kan genetika’a ga ngulang)..????
Don’t worry,,mesin di laboratorium DNA Smithsonian bisa mengatasi masalah tanpa massyyalah qo…
"Studi DNA mampu menembus waktu 20 tahun lalu atau kurang. Ide bahwa DNA dari makhluk hidup yang telah punah dapat diciptakan ulang dari tulang fosil mempelajari sesuatu lebih jauh lagi," tu kata’a profesor biologi molekuler dan genetika di Universitas Wisconsin Sean Carrol.
Maka dari ituh,,spesimen tua yang telah terkubur jauh dalam museum sejarah alam seperti Smithsonian tiba-tiba menjadi penemuan potensial bagi informasi genetika.
Tahun 2009 lalu, dengan menggunakan beberapa gumpalan rambut mammoth yang seperti wol, ilmuwan dari Penn State mampu mengekstrak fragmen DNA yang cukup untuk menentukan kandungan genetikanya, membuat wol mammoth tersebut menjadi bagian tubuh hewan punah itu bisa dikodekan gennya.
Mengambil makhluk hidup yang berhubungan dengan mammoth, gajah misalnya, bisa menentukan semua tempat dimana perbedaan DNA antara gajah dengan mammoth dan kemudian memodifikasi DNA gajah agar cocok.
Tapi sayang beribu sayang,,hal tersebut belum bisa terealisir, jadi ilmuwan akan melakukan opsi kloning.
So,,apa yg bisa qta perbuat sbg mahasiswa biologi??

Senin, 15 November 2010

nypa fructicans

(Nypa fruticans, Arecaceae)
Klasifikasi
Kerajaan : plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Nypa
Species : Nypa fruticans
Sejarah
Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon, daonan (Sd., Bms.), buyuk (Jw., Bali), bhunyok (Md.), bobo (Menado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon dan sekitarnya).
Di beberapa negara lain, tumbuhan ini dikenal dengan nama (dalam bahasa Inggris) Attap Palm (Singapura), Nipa Palm atau losa (Filipina), atau umumnya disebut Nypa palm. Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, dan diketahui sebagai satu-satunya anggota marga Nypa. Tumbuhan ini merupakan satu-satunya jenis palma dari wilayah mangrove. Fosil serbuk sari palma ini diketahui berasal dari sekitar 70 juta tahun yang silam.

Morfologi
Sebagaimana rumbia (Metroxylon spp.), batang pohon nipah menjalar di tanah, membentuk rimpang yang terendam oleh lumpur. Hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah, sehingga nipah nampak seolah-olah tak berbatang. Akar serabutnya dapat mencapai panjang 13 m. Karena perakaran nipah ini hanya terletak dalam lumpur yang sifatnya labil maka rumpun-rumpun nipah dapat dihanyutkan oleh air sampai ke laut.

Gambar 1.Batang Gambar 2. Buah Gambar 3. Bunga

Gambar 4. Akar Gambar 5.Nipah dalam keadaan tegak
Dari rimpangnya muncul daun-daun majemuk menyirip khas palma, tegak atau hampir tegak, menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya 1-1,5 m; dengan kulit yang mengkilap dan keras, berwarna hijau pada yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya; bagian dalamnya lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Panjang anak daun dapat mencapai 100 cm dan lebar daun 4-7 cm. Daun nipah yang sudah tua berwarna hijau, sedangkan daunnya yang masih muda berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. Banyaknya anak daun dalam tiap ental mencapai 25-100 helai.
Karangan bunga majemuk muncul di ketiak daun, berumah satu, dengan bunga betina terkumpul di ujung membentuk bola dan bunga jantan tersusun dalam malai serupa untai, merah, jingga atau kuning pada cabang di bawahnya. Setiap untai mempunyai 4-5 bulir bunga jantan yang panjangnya mencapai 5 cm. Bunga nipah jantan dilindungi oleh seludang bunga, namun bagian yang terisi serbuk sari tetap tersembul keluar. Bunga nipah betina berbentuk bulat peluru dan bengkok mengarah ke samping. Panjang tangkai badan bunga mencapai 100-170 cm. Tandan bunga inilah yang dapat disadap untuk diambil niranya. Empat hingga lima bulan sejak keluarnya bunga nipah, tandan bunga tersebut dapat disadap. Pada saat ini pengisian biji sedang aktif, maka bila dilakukan penyadapan pasti akan dapat memperoleh jumlah nira yang maksimal.
Buah tipe buah batu dengan mesokarp bersabut, bulat telur terbalik dan gepeng dengan 2-3 rusuk, coklat kemerahan, 11 x 13 cm, terkumpul dalam kelompok rapat menyerupai bola berdiameter sekitar 30 cm. Struktur buah mirip buah kelapa, dengan eksokarp halus, mesokarp berupa sabut, dan endokarp keras yang disebut tempurung. Biji terlindung oleh tempurung dengan panjangnya antara 8-13 cm dan berbentuk kerucut. Dalam satu tandan, buahnya dapat mencapai antara 30-50 butir, berdempetan satu dengan yang lainnya membentuk kumpulan buah bundar. Buah yang masak gugur ke air dan mengapung mengikuti arus pasang surut atau aliran air hingga tersangkut di tempat tumbuhnya. Kerap kali buah telah berkecambah senyampang dihanyutkan arus ke tempat yang baru.
Tempat tumbuh dan penyebaran

Gambar 6.Tegakan nipah di hutan bakau Maitum, Filipina
Tumbuh pada substrat yang halus, pada bagian tepi atas dari jalan air. Memerlukan masukan air tawar tahunan yang tinggi. Jarang terdapat di luar zona pantai. Biasanya tumbuh pada tegakan yang berkelompok. Memiliki sistem perakaran yang rapat dan kuat yang tersesuaikan lebih baik terhadap perubahan masukan air, dibandingkan dengan sebagian besar jenis tumbuhan mangrove lainnya. Serbuk sari lengket dan penyerbukan nampaknya dibantu oleh lalat Drosophila. Buah yang berserat serta adanya rongga udara pada biji membantu penyebaran mereka melalui air. Kadang-kadang bersifat vivipar.
Nipah tumbuh di bagian belakang hutan bakau, terutama di dekat aliran sungai yang memasok lumpur ke pesisir. Palma ini dapat tumbuh di wilayah yang berair agak tawar, sepanjang masih terpengaruh pasang-surut air laut yang mengantarkan buah-buahnya yang mengapung. Di tempat-tempat yang sesuai, tegakan nipah membentuk jalur lebar tak terputus di belakang lapisan hutan bakau, kurang lebih sejajar dengan garis pantai. Nipah mampu bertahan hidup di atas lahan yang agak kering atau yang kering sementara air surut.
Palma ini umum ditemukan di sepanjang garis pesisir Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik, khususnya di antara Bangladesh hingga pulau-pulau di Pasifik. Nipah termasuk jenis tumbuhan yang terancam punah di Singapura.
Pemanfaatan
Daun nipah yang telah tua banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk membuat atap rumah. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Daun nipah yang masih muda mirip janur kelapa, dapat dianyam untuk membuat dinding rumah yang disebut kajang. Daun nipah juga dapat dianyam untuk membuat tikar, tas, topi dan aneka keranjang anyaman. Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun 1999. Di Sumatra, pada masa silam daun nipah yang muda (dinamai pucuk) dijadikan daun rokok yaitu lembaran pembungkus untuk melinting tembakau setelah dikelupas kulit arinya yang tipis, dijemur kering, dikelantang untuk memutihkannya dan kemudian dipotong-potong sesuai ukuran rokok. Beberapa naskah lama Nusantara juga menggunakan daun nipah sebagai alas tulis, bukannya daun lontar.
Tangkai daun dan pelepah nipah dapat digunakan sebagai bahan kayu bakar yang baik. Pelepah daun nipah juga mengandung selulosa yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp (bubur kertas). Lidinya dapat digunakan untuk sapu, bahan anyam-anyaman dan tali.
Nipah dapat pula disadap niranya, yakni cairan manis yang diperoleh dari tandan bunga yang belum mekar. Nira yang dikeringkan dengan dimasak dipasarkan sebagai gula nipah (palm sugar). Dari hasil oksidasi gula nipah dapat dihasilkan cuka. Di Pulau Rote dan Sawu, Nusa Tenggara Timur, nira nipah diberikan ke ternak babi di musim kemarau. Konon, hal ini bisa memberikan rasa manis pada daging babi.
Di Filipina dan juga di Papua, nira ini diperam untuk menghasilkan semacam tuak yang dinamakan tuba (dalam bahasa Filipina). Fermentasi lebih lanjut dari tuba akan menghasilkan cuka. Di Malaysia, nira nipah dibuat sebagai bahan baku etanol yang dapat dijadikan bahan bakar nabati pengganti bahan bakar minyak bumi. Etanol yang dapat dihasilkan adalah sekitar 11,000 liter/ha/tahun, jauh lebih unggul dibandingkan kelapa sawit (5,000 liter/ha/tahun). Di Kalimantan arang dari akar nipah digunakan untuk obat sakit gigi dan sakit kepala.
Umbut nipah dan buah yang muda dapat dimakan. Biji buah nipah yang muda, yang disebut tembatuk, mirip dengan kolang-kaling (buah atep), dan juga diberi nama attap chee ("chee" berarti "biji" menurut dialek China tertentu). Sedangkan buah yang sudah tua bisa ditumbuk untuk dijadikan tepung.

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, H. 2000. Desentralisasi : Ancaman dan Harapan Bagi Masyarakat Adat (Studi Kasus Masyarakat Adat Cerekang di Kabupaten Luwu Timur,
Provinsi Sulawesi Selatan). CIFOR. Bogor.

Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta.

Sabtu, 01 Mei 2010

Nephrolepis sp.

TUGAS TERSTRUKTUR TAKSONOMI TUMBUHAN
Paku Kinca (Nephrolepis sp.)








Oleh :
Nani Rahmawati
B1J008045





KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2010
Nephrolepis sp.

Gambar. Nephrolepis sp.
Klasifikasi
Kingdom Plantae
Divisio Pteridophyta
Kelas Pteridopsida
Ordo Polypodiales
Familia Polypodiaceae
Genus Nephrolepis
Spesies Nephrolepis sp.
Habitat
Nephrolepis sp. ini tumbuh di tanah dan merupakan herba. Nephrolepis sp. dapat ditemukan pada dataran tinggi, daerah kering seperti padang pasir, daerah berair atau area-area terbuka. Selain itu dapat ditemukan 4 tipe habitat Nephrolepis sp. yaitu, hutan rindang yang memiliki celah permukaan berkarang, khususnya yang terlindung dari sinar matahari, terdapat di daerah rawa dan tergenang air, dan tumbuh sebagai epifit pada pohon-pohon tropik.
Daun
Nephrolepis sp. ini mempuyai daun tropofil atau daun steril karena tidak terdapat spora pada bagian daunnya, daun ini berfungsi sebagai organ fotosintesis. Daun berwarna hijau dengan ujung daun tumpul dan tepi daunnya bergerigi dengan susunan daunnya bersilang dan merupakan isofil karena mempunyai ukuran yang sama atau serupa pada keseluruhan daunnya. Helaian daun tersusun sangat rapat dan helaian daun yang letaknya di atas lebih kecil. Daun tipis dengan permukaan daunnya halus (gundul) tidak terdapat daun penumpu atau stipula dan ligula.
Daun-daun ini dibagi menjadi 3 tipe ;
• Tropofil, daun yang menghasilkan gula untuk fotosintesis.
• Sporofil, daun yang menghasilkan spora untuk perkembangbiakan.
• Bropofil, daun yang menghasilkan lebih banyak spora, lebih besar dari daun-daun yang lain.

gambar. spora pada Nephrolepis sp.
spora pada Nephrolepis sp. pada umumnya sorusnya bulat atau garis pada sisi bawah daun, sepanjang tepi atau agak jauh sejajar dengan tepi itu. Indisiun sesuai dengan bentuk sorus. Sporangium kadang-kadang sampai menutupi seluruh permukaan daun yang fertil. Sporangium bertangkai dengan annulus vertikal, tidak sempurna, jika masak, pecah dengan celah melintang.
Batang
Semua batang paku-pakuan kerap berupa rimpang karena arah tumbuhnya menjalar atau memanjat. Rimpang juga mempunyai cabang dengan arah tumbuh tegak atau menggantung. Batang pada Nephrolepis sp. ini panjang dan ramping tumbuh tegak menggantung dan berwarna coklat tua, licin dan halus. Dan pada spesies ini juga tidak mempunyai ramenta yaitu bentukan seperti rambut atau sisik yang berwarna hitam. Batang berdiamter ± 1 mm dengan panjang ± 30 cm dan tidak terdapat percabangan. Panjangnya ±60-100 cm.
Akar
Nephrolepis sp. memiliki akar yang berwarna coklat tua dan tumbuh menjalar di bawah permukaan tanah, bersifat non fotosintesis, befungsi menyerap air dan nutrisi dari tanah. Akar-akar ini menyerabut dan strukturnya sangat kecil.
Siklus hidup

Gambar. Siklus hidup Nephrolepis sp.
Daur hidup Nephrolepis sp. terdiri dari dua fase utama yaitu: gametofit dan sporofit. Tumbuhan paku yang mudah kita lihat merupakan bentuk fase sporofit karena menghasilkan spora. Bentuk generasi fase gametofit dinamakan protalus (prothallus) atau protalium (prothallium), yang berwujud tumbuhan kecil berupa lembaran berwarna hijau, mirip lumut hati, tidak berakar (tetapi memiliki rizoid sebagai penggantinya), tidak berbatang, tidak berdaun. Prothallium tumbuh dari spora yang jatuh di tempat yang lembab. Dari prothallium berkembang anteridium (antheridium, organ penghasil spermatozoid atau sel kelamin jantan) dan arkegonium (arkegonium, organ penghasil ovum atau sel telur). Pembuahan mutlak memerlukan bantuan air sebagai media spermatozoid berpindah menuju arkegonium. Ovum yang terbuahi berkembang menjadi zigot, yang pada gilirannya tumbuh menjadi tumbuhan paku baru.
Reproduksi
Nephrolepis sp. memilki fase gametofit yang hidupnya bebas. Beberapa ciri reproduksi Nephrolepis sp. :
1. Fase sporofit (diploid) yang menghasilkan spora haploid melalui pembelahan miosis.
2. Spora tersebut tumbuh melalui bagian selnya menjadi gametofit, untuk fotosistesis protalus.
3. Gametofit tersebut menghasilkan gamet (sel sperma dan sel telur) melalui pembelahan mitosis.
4. Selanjutnya sperma membuahi sel telur dengan cara manggabungkan diri pada protalus.
5. Pembuahan sel telur menghasilkan zigot yang diploid dan berkembang melalui pembelahan miosis sehingga menjadi sporofit (tumbuhan Nephrolepis sp.).
Manfaat
Nephrolepis sp. ini banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias yaitu ditanam di pot untuk penghias ruangan, atau ditanam di pot gantung, daun mudanya dapat dibuat sayur, dan orang memanfaatkan ikatan pembuluhnya yang kuat itu untuk membuat topi (sastrapraja, 1980).

Daftar pustaka
Sastrapraja, setiaji dkk. 1980. Jenis Paku Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

alamanda


Alamanda
Allamanda cathartica L. Nama umum
Indonesia: Alamanda
Inggris: golden-trumpet, common allamanda
Nama Daerah
Sunda: Lame areuy
Jawa: Alamanda




Klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Gentianales
Famili: Apocynaceae
Genus: Allamanda
Spesies: Allamanda cathartica L.

Deskripsi
Tumbuhan perdu, berumur panjang (perenial), tinggi bisa mencapai +/- 4 m. Akar tunggang. Batang berkayu, silindris, terkulai, warna hijau, permukaan halus, percabangan monopodial, arah cabang terkulai. Daun tunggal, bertangkai pendek, tersusun berhadapan (folia oposita), warna hijau, bentuk jorong, panjang 5 - 15 cm, lebar 2 - 5 cm, helaian daun tebal, ujung dan pangkal meruncing (acuminatus), tepi rata, permukaan atas dan bawah halus, bergetah Bunga majemuk, bentuk tandan (racemus), muncul di ketiak daun dan ujung batang, mahkota berbentuk corong (infundibuliformis) - berwarna kuning, panjang mahkota 8 - 12 mm, daun mahkota berlekatan (gamopetalus) Buah kotak (capsula), bulat, panjang +/- 1,5 cm, bentuk dengan biji segitiga, berwarna hijau pucat saat muda - setelah tua menjadi hitam Perbanyaan Generatif (biji), Vegetatif (stek)
Kandungan Kimia
Daun Allamanda cathartica mengandung alkaloida, kulit batang dan buah-nya mengandung saponin, di samping itu kulit batangnya juga mengandung tanin dan buahnya mengandung flavonoida dan polifenol.
Khasiat
Daun Alamanda berkhasiat untuk penawar keracunan. Untuk penawar keracunan dipakai ± 15 gram daun segar Allamanda ca-thartica, dicuci, direbus dengan 1 gelas air selama 15 menit, dinginkan dan disaring. Hasil saringan diminum dua kali sama banyak selang satu jam.

Jumat, 30 April 2010

laporan fishe 2

OSMOREGULASI









Oleh :
Nama : Nani Rahmawati
NIM : B1J008045
Kelompok : 2
Rombongan : II
Asisten : Afrina Yuniati



LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II




KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2010
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Table 1. Data Sintasan Ikan Nila Dan Ikan Nilem
No Kelompok Perlakuan Salinitas (ppt) Jenis ikan Jumlah ikan Sintasan (%)
1 1 Direct 0-25 Nila 10 100%
2 2 Indirect 0-10-25 Nila 10 100%
3 3 Direct 0-25 Nilem 0 0%
4 4 Indirect 0-10-25 Nilem 0 0%
5 5 Direct 0-25 Nila 10 100%
6 6 Indirect 0-10-25 Nilem 0 0%

Table 2. Data Osmolalitas Plasma Dan Medium Ikan
No Kelompok Salinitas Osmolalitas plasma Osmolalitas medium Kapasitas osmoregulasi
1 1 & 2 0 ppt 280 & 368 146 2,22 mol/kg
2 3 & 4 10 ppt 377 & 681 334 1,49 mol/kg
3 5 & & 25 ppt 402 & 374 695 0,56 mol/kg

Sintasan Ikan Nila



Mortalitas

Rata-rata osmolalitas plasma



Kapasitas osmoregulasi















B. Pembahasan
Hasil pengamatan praktikum menunjukan bahwa pada salinitas 0 ppt, 10 ppt, dan 25 ppt konsentrasi osmotik medianya berturut-turut adalah 146 mmol/kg, 334 mmol/kg, dan 695 mmol/kg, sedangkan rata-rata konsentrasi osmotik plasma darahnya berturut-turut adalah 334 mmol/kg, 497,5 mmol/kg, dan 338 mmol/kg. Hickman (1972) menambahkan bahwa ikan nila merupakan ikan air tawar yang toleran terhadap perubahan salinitas mediumnya. Saat ikan berada pada medium bukan air tawar maka terjadi perubahan osmoregulasi dimana air pada medium akan masuk ke dalam tubuh pada medium tawar dan cairan tubuh keluar dalam cairan medium bukan air tawar, maka pada medium bersalinitas tinggi ikan harus mampu menjaga cairan dalam tubuhnya dan mengeluarkan ion-ion yang masuk ke dalam tubuh ketika ikan meminum air dari medianya.
Hewan yang hidup dalam perairan senantiasa mengalami permasalahan yang berkaitan dengan osmosis dan distribusi ion-ion. Hewan air dalam hidupnya memerlukan kadar garam internal minimal. Hal tersebut untuk mengantisipasi agar tidak terjadi dehidrasi ikan akan senantiasa beradaptasi terhadap salinitas lingkungannya. Semakin tinggi salinitas akan lebih sulit bagi hewan untuk beradaptasi. Oleh sebab itu, secara fisiologis ikan laut hidup dalam keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan karena terancam akan kehilangan air dalam tubuhnya (Ville et al., 1988).
Ikan Nila merupakan ikan air tawar yang mempunyai kemampuan cukup tinggi untuk hidup pada lingkungan yang buruk. Ikan air tawar umumnya stenohalin, derajat toleransi tergantung pada lamanya hewan tersebut dan lingkungan itu. Ketahanan ikan air tawar selain dipengaruhi oleh faktor tersebut juga dipengaruhi oleh faktor suhu tubuh dan kondisi lingkungan (Passino et al., 1977).
Hasil percobaan menunjukkan osmolalitas plasma selalu berubah ubah di setiap kondisi lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan nila termasuk dalam hewan osmokonformer. Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Gordon (1982) yang menyebutkan bahwa Ikan Nila dan Nilem termasuk ikan air tawar dan tergolong osmoregulator yaitu golongan hewan yang dapat mempertahankan kadar garam dalam tubuh dan tidak terpengaruh dengan kadar garam lingkungannya. Ikan nilem biasanya tahan terhadap suatu kisaran salinitas yang sempit (stenohaline) sedangkan ikan nila memiliki toleransi salinitas luas (euryhaline). Euryhaline yaitu mampu beradaptasi pada media dengan kisaran salinitas lebar, namun kisaran salinitas yang optimum lebih sempit bagi ukuran larva.
Seekor hewan osmoregulator harus membuang kelebihan air jika hewan itu hidup dalam lingkungan hiperosmotik. Kemampuan untuk mengadakan osmoregulasi membuat hewan mampu bertahan hidup, misalnya dalam air tawar dimana osmolaritas tertentu rendah untuk mendukung osmokonformer, dan didarat dimana air umumnya tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas. Semua hewan air tawar dan hewan air laut adalah osmoregulator. Manusia dan hewan darat lainnya yang juga osmoregulator harus mengkompensasi kehilangan air. Harris (1992), menyatakan bahwa osmoregulator dapat mengaktifkan transport ion secara langsung berlawanan dengan gradien konsentrasi. Transport aktif dilakukan dengan memompa ion pada membran plasma sel. Pompa ion dilakukan untuk mengeliminasi kelebihan air. Ikan Nila termasuk ikan air tawar yang mempunyai osmoregulasi yang tinggi. Artinya ikan akan melakukan aktivitas berupa terus-menerus minum air, penguapan air dengan osmosis, garam-garam diekskresi secara aktif melalui insang, sedikit urin, urin pekat. Hal terpenting yang dilakukan dari osmoregulasi adalah pembuangan garam dan penahanan air (Odum, 1971).
Kebanyakan invertebrata yang berhabitat di laut tidak secara aktif mengatur sistem osmosis mereka, dan dikenal sebagai osmokonformer. Osmokonformer memiliki osmolaritas internal yang sama dengan lingkungannya sehingga tidak ada tendensi untuk memperoleh atau kehilangan air. Karena kebanyakan osmokonformer hidup di lingkungan yang memiliki komposisi kimia yang sangat stabil maka osmokonformer memiliki osmolaritas yang cenderung konstan.
Osmoregulasi adalah kemampuan organisme untuk mempertahankan keseimbangan kadar dalam tubuh, didalam zat yang kadar garamnya berbeda. (Kashiko, 2000). Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara substansi dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel yang permeable. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas toleransi yang dimilikinya. Osmoregulasi juga berfungsi ganda sebagai sarana untuk membuang zat-zat yang tidak diperlukan oleh sel atau organisme hidup.
Pengaturan air dan ion dalam tubuh dengan sejumlah mekanisme yang dilakukan untuk mengatasi problem osmotik dan mengatur perbedaan diantara intra sel dan ekstra sel dan diantara ekstrasel dengan lingkungan secara kolektif disebut Mekanisme Osmoregulasi (Evans, 1998). Mekanisme osmoregulasi meliputi volume air, kandungan zat terlarut dan distribusi zat terlarut. Mahluk hidup mempertahankan kekonstanan volume air dalam tubuhnya melalui mekanisme dimana jumlah air yang masuk harus sama dengan jumlah air yang keluar (Soetarto, 1986).
Suatu organisme dapat bertahan hidup jika konsentrasi garam dalam cairan tubuh internal dipertahankan pada tingkat rendah sesuai dengan kebutuhan metabolisme. Ikan air tawar akan mati jika berada pada larutan garam yang berkonsentrasi tinggi karena ikan air tawar hanya mempunyai toleransi 0,1 %. Konsentrasi garam yang semakin tinggi akan menyebabkan air yang terdapat dalam tubuh ikan keluar, sehingga ikan akan mengalami dehidrasi dan dapat mengalami kematian (Nawangsari, 1988). Osmolalitas standar untuk ikan Nila adalah berkisar antara 260-330 mmol/kg (Johnson, et al., 1984).
Kapasitas osmoregulasi merupakan rasio antara nilai osmolalitas plasma terhadap nilai osmolalitas media. Ikan yang kapasitas osmoregulasinya mendekati atau kurang dari satu, maka ikan tersebut termasuk hipoosmotik, bila sama dengan satu maka ikan tersebut bersifat isoosmotik, sedangkan bila mendekati dua maka termasuk hiperosmotik. Hasil pengamatan kelompok 1 menunjukan bahwa kapasitas osmoregulasi ikan nila sebesar 2,2 mmol/kg sehingga ikan tersebut termasuk atau hiperosmotik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ville, et al (1988) yang menyatakan bahwa kebanyakan ikan air tawar bersifat hiperosmotik.
Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada kehidupan organisme akuatik termasuk larva ikan Nila. Perubahan salinitas media akan berpengaruh pada osmolaritas media dan cairan tubuh (plasma) larva. Perbedaan osmolaritas media dan plasma larva yang disebabkan oleh perbedaan salinitas akan menentukan tingkat kerja osmotik (beban osmotik) larva yang selanjutnya akan mempengaruhi sintasan larva ikan Nila. Perubahan osmolaritas plasma dapat terjadi sebagai respon terhadap perubahan salinitas media. Sintasan larva ikan Nila yang tinggi hanya dapat dicapai apabila larva dipelihara pada media dengan salinitas optimum dimana osmolaritas plasma mendekati osmolaritas media (isoosmotik) (Muhammad, 2006). Menurut Hill dan Wyse (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi berbagai respon salinitas dan juga kemampuan suatu spesies untuk bertahan dari lingkungan yang berubah antara lain, temperatur, komposisi air, perubahan saliitas, tingkat siklus kehidupan, aklimatisasi dan aklimasi dan perbedaan spesies.
Praktikum osmoregulasi menggunakan bahan ikan nila dan ikan nilem dikarenakan kedua ikan tersebut mewakili kelompok eurihalin dan stenohalin. Ikan nila termasuk dalam kelompok eurihalin, sedangkan ikan nilem termasuk dalam kelompok stenohalin. Penggunaan pipet kapiler atau spuit injeksi yaitu untuk mengambil darah dari ikan nila yang akan diukur nilai osmolalitasnya. Sentrifugator berfungsi untuk memisahkan plasma darahnya. Plasma darah yang diperoleh dimasukkan kedalam osmometer yang berfungsi untuk menghitung nilai osmolalitas.























KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Ikan Nila termasuk hewan stenohaline, bersifat hiperosmotik dan osmoregulator. Sedangkan ikan Gurameh termasuk hewan eurihalin, bersifat hipoosmotik.
2. Kebanyakan ikan air tawar bersifat hiperosmotik
3. Ikan air tawar melakukan osmoregulasi dengan cara mengeluarkan banyak urin dalam bentuk cair dan berusaha mengambil garam secara aktif dari lingkungan sekitarnya.

B. Saran
Praktikum berikutnya semoga dapat lebih aktif lagi dan komunikatif antara asisten dan praktikan.




















DAFTAR REFERENSI
Davis, C. 1983. Pengelolaan Komoditi Air Kolam dalam Bunga Rampai. Balai Penelitian Budidaya Air Payau, Jakarta.
Evans, D.H. 1998. The Physiology of Fishes Second Edition. CRC Press. New York.
Gordon, M.S. 1982. Animal Physiology. Mc Millan Publishing Co, New York.
Harris, C.L. 1992. Concept of Zoology. Harper Collins Publishing Inc, USA.
Johnson, K.D, D.C Rayle and H.L. Alberg. 1984. Biology on Introduction. S. Chand and Co, New Delhi.
Kashiko.2000.Kamus Lengkap Biologi. Kashiko Press :Bandung.
Muhammad, 2006. Perubahan osmolaritas plasma larva ikan bandeng (chanos chanos) sebagai respon adaptasi salinitas. J. Sains & Teknologi, Desember 2006, Vol. 6 No. 3: 143–148. Staf Pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS.
Nawangsari. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.
Odum, C. D. 1971. Fundamental of Ecology. W Passino, D. R. M; R. R. Miller; J.
Soetarto. 1986. Biologi. Widya Duta. Surakarta.
Ville, C. A., Walker, W. F., barnes, R. D. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.